Menata Otak
dan Hati bersama Kelapa Sawit dan Minyak Goreng
Rasa dan pikir tetap saja menarik untuk diperdebatkan. Minyak Goreng bukanlah hal sepele bagi rumah tangga juga di Indonesia. Secara hitungan sederhana minyak goreng bagi nol koma dua lima milyar warga Indonesia baru terasa perlu dipikirkan.
Anugerah dari sang Maha Pemurah untuk negeri Indonesia dengan iklim yang tepat bagi tanaman penghasil minyak goreng. Sinar Matahari yang berlimpah dan hujan yang tersedia memanjakan negeri yang baru saja memiliki Ibukota Nusantara di pulau terbesarnya.
Jadilah Indonesia negeri dengan kebun kelapa sawit terluas di segenap jazirah, negeri- negeri Amerika baik yang serikat dan latin lewat, eropa juga lewat, Auasy si negeri satu benua lewat, Afrika pun sebagai benua awal kelapa sawit lewat, Asia; maka Malaysia menjadi runer up.
Catatan Kementan luas kebun sawit di Indonesia 15,08 juta hektar. 55 % milik perkebunan besar swasta. Konon terdapat lebih dari 30.000 hektar milik BUMN. Aldo Fernando, CNBC Indonesia menyajikan pada hari Rabu 29/09/2021 Erick Thohir menyebutkan BUMN perkebunan loyo dan terlilit hutang. Sindonews.com melaporkan produksi CPO Indonesia mencapai 24 juta ton lebih dalam setahun.
Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag RIKebutuhan Minyak goreng nasional Nusantara adalah setara 5,06 juta ton per tahun dari CPO atau setara 5,7 milyar liter (liputan 6 mengutip Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis 24/3/2022). Berarti dalam 1 kg CPO akan menghasilkan 1,264 liter minyak goreng.
Masih soal Pikir, rendemen buah kelapa sawit menjadi CPO sejatinya bergantung pada kematangan buah dan lamanya waktu yang digunakan sampai buah sawit diolah menjadi CPO. Kita ambil rata rata adalah 20%. Jadi diperlukan 5 kg buah sawit untuk mendapatkan 1 kg CPO. Mengikuti hitung hitungan Pak Eko sang Dirjen berarti dapat 1,1245 Liter minyak Goreng
Jika buah sawit harganya Rp.3000,- tiap kg maka harga minyak goreng sungguh sulit mendekati tidak mungkin setara HET Rp.14.000/liter.
Untuk sesuai HET yang telah dihapus, harga buah sawit adalah ; kita ikuti tulisan Pandu Gumilar pada Bisnis.com pada 15 Juli 2019.
“Emiten perkebunan Kelapa sawit PT Astra Agro Lestari Tbk. Berupaya menurunkan biaya produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekitar 16,66% menjadi Rp. 5.000.-/ kg pada kwartal III/2019.
Direktur Astra Agro Lestari M. Hadi Sugeng mengatakan saat ini biaya produksi CPO perseroan sekitar USDolar400 per ton atau Rp6.000 per kg”.
Soal Rasa; Menteri Perdagangan RI dalam salah satu siaran TV nasional sesaat setelah Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI awal bulan April 2022, menyikapi kelangkaan minyak goreng lebih karena “keserakahan”. Berdasarkan fakta bahwa Indonesia adalah penghasil CPO terbesar dari kebun kelapa sawit terluas dunia maka padanan kata keserakahan ini adalah mendekati “cupidity”.
Keserakahan yang cupidity adalah keinginan besar (mungkin lebih besar dari rasa kepedulian bisa juga kita sebut rasa nasionalisme) untuk memanfaatkan peluang pasar global ditengah tekanan Negara eropa akan sawit dan produknya.
Pada Perayaan 100 tahun kelapa sawit Indonesia tahun 2011 di Medan (28 – 30 Maret) penulis sebagai anak bawang ikut wara wiri. Bisik bisik yang terdengar meskipun Indonesia memiliki kebun kelapa sawit terbesar atau terluas di dunia namun kepemilikan modal terbesar dari Malaysia. Penjelasannya di Indonesia perusahaan sawit pemiliknya warga Malaysia sangat banyak, sementara di perkebunan Kelapa Sawit Malaysia hanya ada beberapa orang Indonesia. Itupun kalau luasnya tidak dapat dibuat prosentasenya.
Maka soal nasionalisme memang harus ditegaskan dalam aturan. Tidak dapat diharapkan muncul dari kesadaran dan kepedulian sesama warga bangsa.
Lanjut perihal rasa, sesulit apa teknologi pengolahan minyak goreng dari kelapa sawit ? Bercermin dari kegiatan pengolahan minyak goreng dari kelapa dalam oleh paman, bibi, uwa, pakde dan siapapun dinegeri kita jawabanya “ Rasanya kita pasti bisa”.
Maka sejak ibu ibu mengeluhkan lonjakan harga minyak goreng, HKTI Kabupaten Banjar melalukan diskusi mendalam perihal sebab musabab dan peluang membuat minyak goreng dari kelapa sawit. Pertimbangan kita sangat sederhana, yaitu beberapa atau bahkan cukup banyak warga HKTI adalah pemilik kebun sawit.
Kesimpulan sementara bahwa kesulitan terbesar bukan pada teknologinya, bukan pada efisiensi proses produksi saja. Kesederhanaan teknologi yang dibutuhkan pada proses membuat minyak goreng dari kelapa sawit akan berhadap-hadapan dengan beberapa “pandangan”.
Petama soal standart kualitas, jangan harap kualitas SNI, Ijin PRT aja masih diragukan akan diperoleh jika bercermin pada ; misalnya panduan soal Bantuan Langsung Non Tunai bagi warga kurang beruntung versi Depatemen Sosial. Minyak Goreng tidak disarankan karena dipandang hanya mampu dibuat oleh industry.
Heboh G20 dimana Indonesia adalah presidensialnya tahun ini oleh Direktur Center of Ekonomic and Law Studies(CELIOS); Bhima Yudhistira seperti ditulis Merdeka.com dibawah judul Indonesia jadi Satu Satunya Negara G20 masih Konsumsi Minyak Goreng Curah, 25 April 2022. Alasan tidak baik untuk kesehatan menjadi rujukan beliau. “ Minyak Goreng Curah ini adalah minyak goreng yang pengawasannya sangat sulit. Karena tidak ada barcode tidak ada kode produksinya”.
Jadi memasarkan produk rumahan minyak goreng (curah) secara resmi lebih sulit dibandingkan memproduksinya. Jika sudah seperti ini sesederhana apapun dan atau sesiap apapun warga “biasa” memproduksi minyak goreng harus bersiap tidak laku. Bila masih ngotot maka bisa saja dianggap melawan hukum dengan dalih membahayakan orang lain bahkan diri sendiri.
Momentum menjelang Pelaksanaan Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng oleh Presiden RI Joko Widodo tanggal 28 April 2022 mestinya memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk “berbuat demi negeri”
Kehebohan minyak goreng di negeri pemilik kebun kelapa sawit terluas lalu juga penghasil CPO terbanyak dunia ini akan menjadi mubazir bila keserakahan dalam arti lebih luas dari sekadar cupidity tidak berhasil ditata. Saat ini ekspor masih boleh, dalam hitungan jam akan menjadi terlarang (?) atau dibatalkan (?) sebelum dilaksanakan.
Catatan akhir, data dari Kementerian Pertanian tahun 2019 di Kompas.com menyebutkan ada 2,67 juta petani kelapa sawit dan 4.42 juta jiwa pekerja disektor ini. Maka 7 juta jiwa manusia Indonesia terkait langsung di sector Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit. Jika mereka menghidupi 3 warga lainnya, yaitu istri/suami dan 2 anak maka ada 28 juta jiwa. Ini berarti 10 % dari total populasi Indonesia. Mereka akan terdampak langsung oleh Pelarangan ekspor bila diberlakukan.
Pilihan menghidupkan pikir-rasa lalu pikir lagi seharusnya memang tidak boleh mengorbankan lebih pada 200 juta lebih warga republic kita. Namun menimpakan suluruh beban kepada 28 juta untuk menjaga HET ditengah harga dunia yang menawarkan nilai ekonomi CPO yang menembus rekor tertinggi baru akan membuat Pertanian dan insuatri makin tidak diminati kaum melinial.
Industry rumahan pengolahan minyak goreng dari kelapa sawit patut dipertimbangkan dengan semangat kebersamaan yang harus dipelihara dan tidak dinodai dengan keserakahan. Baik dari segi ekonomi, kekuasaan dan lainnya.
Peran pemerintah daerah desa melalui BUMDES dan pemerintah Kabupaten dengan Perusahaan Daerah mestinya segera dimulai. Selamat Lebaran idul Fitri 1443 Hijriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon komentarnya dengan bahasa yang sopan, terima kasih atas kunjungannya.