Tertarik dengan tulisan Mujiburrahman di kolom Jendela Koran Banjarmasin Post, Senin 13 Agustus 2012 dengan judul Nasib sang Musafir. Beliau bercerita tentang dua pengalaman yang sedikit tidak enak pada perjalanan dengan pesawat udara, intinya adalah kritik pada pemerintah yang belum memberikan layanan perjalanan yang enak bagi warganya, terlebih lagi pada angkutan darat dan laut, dan terlebih lagi pada musim mudik lebaran. Tulisan dengan tema serupa pun sering kita jumpai dimana dari tahun ke tahun layanan transportasi di negeri kaya ini rasanya tidak bertambah baik. Solusi yang kita terima biasanya adalah banyak bersabar aja.
Terkait dengan tradisi kita Mudik Lebaran, sebuah tradisi yang sudah dimulai entah kapan, memberikan pengalaman yang beragam bagi pelakunya. Paling banyak adalah tidak enaknya pelayanan transportasi, berjejal (tidak suka antri) dan harga tiket yang mahal (karena calo). Tapi bagi sebagian orang melewati "ritual" mudik lebaran adalah sebuah proses yang sangat menantang, karena tidak semua orang sanggup melakukannya, dimana sesudah sampai dan selamat pada tujuan (kampung halaman) betapa lega, senang, bangga, sukacita dan lain perasaan bercampur jadi satu, seakan menjuarai sebuah pertandingan (mendapat kemenangan), tidak peduli lagi berapa lama waktu yang tersita, berapa kalori tenaga yang terpakai dan berapa Rupiah yang telah mereka dihabiskan. Karena mudik adalah silaturahim (bukan silaturahmi) dan berkumpul dengan sanak saudara, terlebih orang tua, inilah yang tidak bisa diukur dengan materi dan energi.
Tradisi yang berbeda tetapi ada sebuah kemiripan adalah "Masa Cadel" di Asrama Wasaka Satu. Dimana setiap calon anggota yang masuk diharuskan melewati masa penuh pengorbanan, diharuskan melewati kerja bakti dengan nilai tertentu dalam masa tertentu dan menjadi orang "nomor dua", tetapi bukan Wakil Walikota apalagi Wakil Presiden. Tidak memiliki hak suara dalam Rapat Anggota dan lain-lain. Betapa tertekannya saat menjalani masa tersebut, maka sama seperti mudik lebaran diperlukan juga kesabaran sebagai solusinya. Begitu sudah melewati ritual tersebut masih diwajibkan lagi menanam minimal 2 bibit pohon (buah atau lainnya), barulah bisa dilantik menjadi Anggota Penuh dengan sebuah prosesi lagi (pada tahun 80-an, pelantikan dilaksanakan pada malam hari di bukit Mandiangin, camping bersama dengan Asrama Putri Wasaka III, karena sama-sama memiliki budaya Cadel). Kenangan masa-masa tersebut ternyata sangat berkesan dan membekas pada setiap cadel, mirip dengan ritual mudik lebaran, setelah selesai baru kita rasakan nikmatnya. Dimana proses tersebut sangat berbeda dengan masa orientasi/plonco/perkenalan pada murid baru di sekolah atau mahasiswa baru di fakultas, sangat-sangat berbeda. Hasil akhirnya adalah sebuah keakraban yang terbentuk pada sesama anggota dan rasa memiliki yang tinggi pada Asrama. Sampai kapan pun bagi kami Wasaka Satu adalah masih rumah kami. Sampai-sampai Bang Uslan Nursaidi (pencipta tokoh Gupran) pernah berucap, "Seandainya tahu nyamannya tinggal di Wasaka Satu, mulai SMA aku sudah masuk ke sini". Begitu pula hadirnya Blog ini adalah akibat dari adanya keakraban yang terbentuk gara-gara ritual pencadelan tersebut. kami berharap tradisi ini akan terus terjaga dengan segala modifikasinya untuk menyesuaikan dengan zamannya. Karena kami yakin seperti juga mudik lebaran, tradisi ini akan terus hidup pada kita. Paling tidak itulah yang aku rasakan.
Terkait dengan tradisi kita Mudik Lebaran, sebuah tradisi yang sudah dimulai entah kapan, memberikan pengalaman yang beragam bagi pelakunya. Paling banyak adalah tidak enaknya pelayanan transportasi, berjejal (tidak suka antri) dan harga tiket yang mahal (karena calo). Tapi bagi sebagian orang melewati "ritual" mudik lebaran adalah sebuah proses yang sangat menantang, karena tidak semua orang sanggup melakukannya, dimana sesudah sampai dan selamat pada tujuan (kampung halaman) betapa lega, senang, bangga, sukacita dan lain perasaan bercampur jadi satu, seakan menjuarai sebuah pertandingan (mendapat kemenangan), tidak peduli lagi berapa lama waktu yang tersita, berapa kalori tenaga yang terpakai dan berapa Rupiah yang telah mereka dihabiskan. Karena mudik adalah silaturahim (bukan silaturahmi) dan berkumpul dengan sanak saudara, terlebih orang tua, inilah yang tidak bisa diukur dengan materi dan energi.
Tradisi yang berbeda tetapi ada sebuah kemiripan adalah "Masa Cadel" di Asrama Wasaka Satu. Dimana setiap calon anggota yang masuk diharuskan melewati masa penuh pengorbanan, diharuskan melewati kerja bakti dengan nilai tertentu dalam masa tertentu dan menjadi orang "nomor dua", tetapi bukan Wakil Walikota apalagi Wakil Presiden. Tidak memiliki hak suara dalam Rapat Anggota dan lain-lain. Betapa tertekannya saat menjalani masa tersebut, maka sama seperti mudik lebaran diperlukan juga kesabaran sebagai solusinya. Begitu sudah melewati ritual tersebut masih diwajibkan lagi menanam minimal 2 bibit pohon (buah atau lainnya), barulah bisa dilantik menjadi Anggota Penuh dengan sebuah prosesi lagi (pada tahun 80-an, pelantikan dilaksanakan pada malam hari di bukit Mandiangin, camping bersama dengan Asrama Putri Wasaka III, karena sama-sama memiliki budaya Cadel). Kenangan masa-masa tersebut ternyata sangat berkesan dan membekas pada setiap cadel, mirip dengan ritual mudik lebaran, setelah selesai baru kita rasakan nikmatnya. Dimana proses tersebut sangat berbeda dengan masa orientasi/plonco/perkenalan pada murid baru di sekolah atau mahasiswa baru di fakultas, sangat-sangat berbeda. Hasil akhirnya adalah sebuah keakraban yang terbentuk pada sesama anggota dan rasa memiliki yang tinggi pada Asrama. Sampai kapan pun bagi kami Wasaka Satu adalah masih rumah kami. Sampai-sampai Bang Uslan Nursaidi (pencipta tokoh Gupran) pernah berucap, "Seandainya tahu nyamannya tinggal di Wasaka Satu, mulai SMA aku sudah masuk ke sini". Begitu pula hadirnya Blog ini adalah akibat dari adanya keakraban yang terbentuk gara-gara ritual pencadelan tersebut. kami berharap tradisi ini akan terus terjaga dengan segala modifikasinya untuk menyesuaikan dengan zamannya. Karena kami yakin seperti juga mudik lebaran, tradisi ini akan terus hidup pada kita. Paling tidak itulah yang aku rasakan.
handak badahulu pada senior, kaya itu kiranya
BalasHapusYa.. super junior ngarannya
BalasHapusmusim mudikan juga musim jaga rumah dosen bagi nang kada kawa mudik, kaya itu bahari ...
BalasHapusMincom sekeluarga mengucapkan slmt idul fitri 1433 h mhn maaf lhr & bathin
BalasHapushampir mirip : sebelum mudik bazakat dulu atau tiba dikampung halamanan hanyar bazakat = habis cadel baru menanam pohon (basadakah pohon)
BalasHapusmenanam pohon = amal zariyah
BalasHapus